Peran Budaya Hukum Dalam Penegakan Hukum

nebisidem.comnebisidem.com/ / ilustrasi

nebisidem.com – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Kemudian menurut sumber yang lain, ada beberapa definisi yang dirumuskan, antara lain: Webster New World Dictionary, kata pornografi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua suku kata, yakni: Porne dan Graphein. Porne = a prostitute; graphein = to write (dari kata benda graphe = a drawing, writing). Pornographos = writing about prostitutes atau tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran/pelacur. Secara harafiah, kamus Webster memberikan definisi tentang pornografi, sebagai berikut: Writing, pictures etc. intended primarily to arouse sexual desire. The production of suchwritings, pictures etc.

Dalam penggunaan kata “porno dan pornografi” secara definisi memang mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Kata porno, biasanya mencakup baik tulisan, gambar, lukisan maupun kata-kata lisan, tarian serta apa saja yang bersifat asusila/cabul. Sedangkan Pornografi hanya terbatas pada tulisan, gambar, dan lukisan. Terbatas pada apa yang bisa di-graphein (digambar, ditulis atau dilukis ).

Jurisprudensi Mahkamah Agung RI:

Sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai berdasarkan standar nilai yang berlaku saat itu. Secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Dibidang hukum atau orang hukum sering menggunakan kata “merangsang” atau “membangkitkan nafsu birahi” sebagai unsur pokok pengertian porno. Hakim yang menyidangkan kasus majalah Viva pada waktu yang lampau misalnya, mengemukakan bahwa salah satu kategori porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat/membacanya. Hal ini selaras dengan pengertian pornografi menurut The Encyclopedia Americana, yang memberikan definisi sederhana bahwa gambar, tulisan atau bentuk komunikasi lain yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual.

Unsur pokok materi yang disebut porno adalah yang sengaja dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual. Secara etimologis, pornografi berarti suatu tulisan yang berkaitan dengan masalah-masalah pelacuran, dan tulisan itu kebanyakan berbentuk fiksi (cerita rekaan) yang materinya diambil dari fantasi seksual. Pornografi biasanya tidak memiliki plot dan karakter, tetapi memiliki uraian yang terperinci mengenai aktivitas seksual, bahkan menantang. Jika kita tengok dalam kamus, pornografi artinya  penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.  Namun kini menurut Imade Bantem, semula pornografi hanya dalam bentuk tulisan, kini hadir dalam bentuknya yang beragam meliputi seluruh media, baik cetak berupa gambar, foto, iklan, maupun media elektronik berupa film sinema, video tapes, dan telefon.

Sebagaimana topik permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian adalah seseorang dengan sengaja mengambil gamba/video orang lain yang sedang mandi tanpa persetujuan dari pihak yang direkam, lalu kemudian mempertontonkan gambar/video tersebut kepada orang lain secara langsung dari handphone (alat rekam), yang mana sebelumnya tindakan seperti ini masih dianggap tindakan yang biasa dan menjadi budaya bercandaan dalam kehidupan  masyarakat, namun dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, tindakan-tindakan semacam ini menjadi dilarang oleh hukum, secara etimologi adalah telah menyalahi aturan dalam perundang-undangan dalam KUHP. Mandi di Sungai di penduduk pedesaan adalah hal yang biasa, namun apabila di sebarkan lalu memberikan kalimat yang dapat menimbulkan nafsu birahi maka dianggap sudah menimbulkan kasus hukum dalam undang-undang ITE. Namun apabila mandi di sungai di gunakan untuk seni dalam lukisan yang tidak menimbulkan nafsu birahi bukanlah pornografi. Sering kali para pembuat foto pornografi bernaung di balik seni.

Terdapat dalam kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Pekalongan Nomor 450/Pid.B/2011/PN.Pkl.,  dakwaan yang digunakan oleh penuntut umum adalah dakwaan alternatif yaitu Pasal 29 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi tentang perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi atau Pasal 32 jo. Pasal 6 UU Pornografi tentang perbuatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi.

Peran budaya hukum dalam penegakan hukum mempertontonkan foto/video pornografi dalam media elektronik, berhasil tidaknya budaya hukum dalam masyarakat, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, terkait nilai-nilai hukum yang dianutnya, bidang-bidang kehidupan sasaran budaya hukum, alat-alat dan cara komunikasi hukum dan kualitas pemimpin. Terdapat suatu asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui hukum yang berlaku masalahnya apa benar demikian. Masyarakat mematuhi hukum biasanya karena takut pada sanksi negatifnya untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan warga masyarakat lainnya.

Budaya hukum mempunyai peran yang vital dan sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas peran budaya hukum antara lain melalui budaya kerja dan perilaku yang profesional para aparat penegak hukum, pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas tidak hanya kepada aparat penegak hukum namun semua elemen masyarakat dan pemerintah.

Sistem hukum berubah dari kebiasaan yang biasa dilaksanakan (mandi di sungai) tetapi disalahgunakan sebagian orang, sehingga muncul aturan baru yang dipaksakan (UU Pornografi) dan harus dilaksanakan, yang kemudian menjadi kebiasaan baru berdasarkan kesadaran hukum untuk mematuhi hukum (budaya hukum).

Penerapan hukum dengan substansi, struktur dan budaya serta kultur yang baik dapat menjawab berkerjanya hukum yang diciptakan telah ditaati dan dilaksanakan secara sadar tanpa ada paksaan serta bermanfaat untuk keamanan dan kesejahteraan bersama dengan damai tanpa ada pertikaian.

Kesimpulan :

Sistem hukum berubah dari kebiasaan yang biasa dilaksanakan (mandi di sungai) tetapi disalahgunakan sebagian orang, sehingga muncul aturan baru yang dipaksakan (uu pornografi) dan harus dilaksanakan, yang kemudian menjadi kebiasaan baru berdasarkan kesadaran hukum untuk mematuhi hukum (budaya hukum). Peran budaya hukum dalam penegakan hukum mempertontonkan foto/video pornografi dalam media elektronik berhasil tidaknya budaya hukum dalam masyarakat, senantiasa tergantung penerapan hukum dengan substansi, struktur dan budaya serta kultur yang baik dapat menjawab berkerjanya hukum yang diciptakan telah ditaati dan dilaksanakan secara sadar tanpa ada paksaan serta bermanfaat untuk keamanan dan kesejahteraan bersama dengan damai tanpa ada pertikaian.

Disarikan tim nebisidem.com dari berbagai sumber dan referensi terpercaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *